Yogyakarta — Budayawan dan pemikir bangsa Emha Ainun Nadjib, atau yang akrab disapa Cak Nun, kembali mengingatkan pentingnya sastra sebagai fondasi spiritual dan budaya, dalam sebuah orasi kebudayaan yang berlangsung empat bulan lalu dan kini kembali ramai diperbincangkan di media sosial.
Dalam pidatonya yang sarat makna dan emosi, Cak Nun menyoroti pergeseran medium sastra dari cetak ke digital—khususnya keberlanjutan majalah sastra legendaris Horison yang kini bermigrasi ke platform daring.
“Horison itu buat sastrawan seperti Qur’an. Menunggu puisi dimuat di sana seperti menunggu naik haji,” ujar Cak Nun, mengenang pengalaman emosional para penulis sastra era cetak.
Namun, di balik nada nostalgia tersebut, ia menyambut peralihan ke format digital dengan gembira dan optimisme, seraya menyebut bahwa generasi milenial kini menjadi tulang punggung aktivitas sastra modern.
Menurut Cak Nun, generasi muda (usia 18–38 tahun) memiliki karakteristik unik: mereka digital-native (tech-savvy), peduli pada kesehatan mental, kebebasan berpikir, dan kerohanian, serta aktif mengekspresikan diri lewat sastra online. Bahkan, menurutnya, mereka adalah “anak-anak langit” yang mendapat nilai-nilai baru langsung dari Tuhan melalui media yang tak kasat mata.
Sastra: Lebih dari Sekadar Tulisan
Cak Nun juga menyampaikan pemikirannya yang mendalam tentang hakikat sastra. Ia menolak definisi sastra yang sempit sebagai “puisi dan cerpen,” dan justru menyebut sastra sebagai metodologi hidup, sebagai “aliran, bukan airnya; gelombang, bukan lautnya.”
“Sastra itu bukan hanya di majalah. Sastra ada dalam dirimu, bahkan sejak kau belum lahir. Saat kau digendong ibumu, itu pun sastra,” ungkapnya penuh perasaan.
Dengan gaya khas yang menggabungkan kritik tajam, kelakar, dan kedalaman spiritual, Cak Nun menyoroti bahwa agama pun membutuhkan sastra. Ia menyayangkan bahwa banyak tokoh agama maupun media keislaman kini hanya memahami agama secara hukum dan ekonomi—tanpa ruh estetika dan simbolisme yang justru menjadi ruh utama Al-Qur’an.
“Kalau ulama tidak paham sastra, mereka hanya mengerti pahala dan hukuman. Tapi tidak mengerti getaran, tidak paham bahwa ‘Allahu Akbar’ itu bukan pernyataan statis, tapi pengalaman yang selalu lebih dan lebih.”
Kritik terhadap Kapitalisme Religius
Dalam bagian orasi yang paling menggugah, Cak Nun melontarkan kritik pedas terhadap praktik keagamaan yang menurutnya kini terlalu transaksional—berorientasi pada pahala, ganjaran, dan kalkulasi duniawi.
“Orang Islam sekarang kapitalistik. Salat dua rakaat biar dapat 700 pahala. Ramadan capek-capek biar dapat Lailatul Qadar. Itu bukan spiritualitas, itu ekonomi.”
Sebaliknya, ia menawarkan pendekatan sastra dalam beragama: mencintai tanpa pamrih, memberi tanpa menghitung, dan menyembah tanpa kalkulasi.
Sastra untuk Semua, Bukan Hanya Sastrawan
Sebagai penutup, Cak Nun menegaskan bahwa sastra dibutuhkan oleh semua lapisan masyarakat, termasuk politisi, pejabat negara, bahkan media massa.
“Kalau pemimpin tidak paham sastra, mereka tidak bisa berdiplomasi, tidak tahu cara berbicara halus, tidak bisa membangun keindahan dalam narasi kebangsaan,” ujarnya.
Ia mencontohkan absurditas ketika cerpen atau puisi diharamkan oleh sebagian tokoh agama karena dianggap “bohong”, padahal sesungguhnya sastra adalah alat simbolik, bukan literal.
Cak Nun mengajak publik untuk kembali menyadari bahwa sastra bukan sekadar teks, tetapi nafas kemanusiaan, roh spiritualitas, dan saluran cinta Tuhan kepada manusia.
“Jika engkau masih manusia, maka engkau butuh sastra,” tutupnya tegas.