Home Sastra & OpiniSeniTradisi Lisan Baode: Suara Budaya Banggai yang Menggema di Tengah Modernisasi

Tradisi Lisan Baode: Suara Budaya Banggai yang Menggema di Tengah Modernisasi

by aksara
21 views

Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah — Di tengah laju deras globalisasi yang membawa serta budaya-budaya luar, masyarakat Banggai Kepulauan masih memegang teguh warisan leluhur mereka: Baode. Tradisi lisan yang berbentuk nyanyian ini bukan sekadar seni vokal, melainkan wadah ekspresi mendalam masyarakat adat untuk menyuarakan nasihat, permohonan, harapan, hingga kritik sosial yang dibalut dalam syair yang sarat makna.

Baode merupakan bentuk komunikasi budaya yang khas. Dalam pertunjukan Baode, tidak hanya suara yang berbicara, tapi juga sejarah, identitas, dan nilai-nilai komunitas. Penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam Buletin Poltanesa Vol. 23 No. 2 (2022) oleh Srilidiawati Epa dan timnya mengungkap bagaimana tradisi Baode dijalankan, terutama di Desa Luksagu, salah satu wilayah di Banggai Kepulauan yang masih melestarikan nyanyian adat ini.

Melalui pendekatan antropolinguistik, para peneliti mendalami struktur teks Baode, mulai dari struktur makro (tema keseluruhan), superstruktur (alur pembuka, isi, penutup), hingga mikrostruktur seperti penggunaan deiksis persona, tempat, dan waktu. Dalam salah satu performansi yang diteliti, Baode dilantunkan sebagai ungkapan kekecewaan masyarakat Luksagu atas kurangnya perhatian dari pemerintah daerah terhadap desa mereka, terutama terhadap keberadaan Sanggar Batu Sinua — satu-satunya pusat budaya yang masih bertahan di sana.

“Janji penuh janji, hari berlalu, bulan, tahun, tidak ada satu pun yang memikirkan kami,” lantunan ini menjadi simbol perasaan terpendam warga yang menanti janji pembangunan yang tak kunjung datang.

Penelitian ini juga menemukan beragam jenis makna dalam teks Baode, seperti makna konseptual, konotatif, sosial, afektif, hingga tematik. Ini menunjukkan bahwa Baode bukan sekadar nyanyian, melainkan teks yang kompleks dan menyimpan pesan budaya yang dalam.

Namun, kekhawatiran besar kini menyelimuti kelangsungan tradisi ini. Generasi muda Banggai semakin tergerus oleh budaya populer, menjauh dari akar tradisi mereka. Penutur Baode kini didominasi oleh mereka yang berusia 50 tahun ke atas, sementara regenerasi hampir tidak terjadi.

Penelitian ini menekankan pentingnya revitalisasi Baode melalui dokumentasi, pendidikan budaya lokal di sekolah, serta dukungan pemerintah untuk menjaga agar suara-suara Baode tetap menggema. Sebab di dalam nyanyian itu, tersimpan identitas, sejarah, dan harapan masyarakat Banggai yang tak boleh padam oleh zaman.

Related Articles