206
Uang tinggal sepuluh ribu,
di dompet yang mulai tipis seperti harapan kota ini.
Tapi istriku,
dengan tangan kecil dan hati besar,
memasak nasi, merebus daun kelor yang tumbuh di pekarangan.
Tak ada daging, tak ada minyak,
hanya garam, dan sedikit tawa.
Namun saat ia menghidangkan di meja,
matanya menatapku—penuh cinta, tanpa keluhan.
Tak ada yang mewah sore itu,
kecuali caranya menggenggam sendok,
dan suaranya saat berkata,
“Yang penting kita makan bersama.”
Aku menatapnya kembali,
dan di sana kutemukan kemewahan sejati:
bukan emas, bukan piring porselen,
tapi cinta yang tak pernah meminta lebih dari yang bisa kuberi.
Budi Saja
Puisi ini dibuat oleh, Budi, yang dipost dalam akun Facebook Budi Saja
di Luwuk, 20/5/2025