Oleh ; Supriadi Lawani,SH
Di tengah banyaknya ketimpangan hukum yang disaksikan masyarakat hari ini—dari kriminalisasi petani hingga impunitas pejabat korup—pertanyaan paling mendasar tentang hukum patut kita ajukan ulang: benarkah hukum itu netral? Dalam dunia akademik maupun gerakan sosial, pemikiran Roberto Unger menawarkan jawaban yang menggugah sekaligus mengguncang fondasi pemahaman hukum konvensional.
Roberto Mangabeira Unger, filsuf hukum dan politisi asal Brasil, adalah salah satu tokoh kunci dari gerakan Critical Legal Studies (CLS) di Amerika Serikat. Dalam berbagai karya pentingnya, seperti Law in Modern Society, The Critical Legal Studies Movement, dan False Necessity, Unger menolak dengan tegas anggapan bahwa hukum merupakan sistem rasional, netral, dan otonom. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa hukum adalah ekspresi dari struktur sosial-politik yang dominan, dan oleh karena itu selalu mengandung bias ideologis.
Hukum Sebagai Alat Kekuasaan yang Terselubung
Bagi Unger, hukum bukanlah cermin keadilan universal, tetapi alat kekuasaan yang dibungkus dengan bahasa teknokratik dan formalistik. Ia mengkritik tajam hukum liberal modern yang mengklaim bersifat netral dan objektif, padahal pada kenyataannya menjadi sarana untuk mempertahankan dominasi ekonomi dan politik segelintir elite.
Dalam kerangka hukum liberal, konflik sosial direduksi menjadi urusan individu dengan hak-haknya, yang diatur dalam koridor hukum privat dan publik secara terpisah. Hal ini menciptakan kesan seolah-olah ketimpangan struktural bukan urusan hukum. Padahal, menurut Unger, pemisahan ini adalah strategi ideologis untuk menyembunyikan relasi kuasa dan mengecualikan rakyat dari ruang politik hukum.
Unger mencontohkan bagaimana kontrak, hak milik, dan pasar diperlakukan sebagai sesuatu yang “alami” dan netral. Namun pada kenyataannya, seluruh institusi tersebut merupakan hasil dari keputusan politik historis yang bisa ditata ulang. Dalam konteks ini, hukum bukan sekadar refleksi dari tatanan sosial, melainkan juga produsen dari ketimpangan itu sendiri.
False Necessity ; Menolak Determinisme Sosial
Konsep kunci dalam pemikiran Unger adalah “False Necessity”—yakni penolakan terhadap gagasan bahwa tatanan sosial dan hukum yang ada saat ini adalah hasil dari keniscayaan sejarah atau kebutuhan fungsional. Dengan kata lain, tidak ada sistem hukum atau institusi sosial yang tidak bisa diubah. Semua yang ada sekarang adalah hasil dari pilihan-pilihan yang bisa digugat dan ditransformasi.
Dengan pandangan ini, Unger ingin membebaskan imajinasi sosial agar hukum bisa dipahami sebagai medan perjuangan politik yang terbuka, bukan sebagai sistem tertutup yang hanya bisa dikelola oleh teknokrat hukum. Ia menantang kita untuk merancang ulang institusi hukum agar berpihak pada emansipasi, bukan keteraturan semu.
Hukum sebagai Alat Eksperimen Sosial
Salah satu tawaran positif Unger adalah konsep bahwa hukum bisa menjadi alat eksperimentasi sosial, bukan hanya instrumen kontrol. Artinya, hukum bisa dirancang untuk membuka ruang partisipasi rakyat dalam menciptakan struktur sosial baru yang lebih adil. Ia mengusulkan pengembangan demokrasi radikal di mana warga tidak hanya memilih, tetapi juga mengendalikan dan merancang institusi secara langsung.
Dalam What Should Legal Analysis Become?, Unger mengajak para sarjana hukum untuk meninggalkan obsesi terhadap logika internal hukum dan mulai berpikir tentang fungsi transformasional hukum. Hukum harus menjadi alat untuk merekayasa ulang masyarakat menuju pembebasan kolektif—bukan sekadar menyelesaikan sengketa individu.
Relevansi di Indonesia: Antara Kriminalisasi dan Pembiaran Struktural
Pemikiran Unger menemukan relevansinya yang nyata dalam konteks Indonesia hari ini. Betapa sering hukum digunakan secara represif terhadap rakyat kecil—petani yang mempertahankan tanahnya, nelayan yang menolak reklamasi, atau buruh yang mogok menuntut upah layak. Sementara itu, pelaku perusakan lingkungan skala besar, perampas tanah petani, atau elite politik yang terlibat korupsi sering kali lolos dengan mudah atau bahkan dilindungi.
Kondisi ini menunjukkan bahwa hukum tidak berdiri di atas keadilan, tetapi kerap menjadi instrumen pembenaran kekuasaan. Ia tampak sibuk menghukum pelanggaran kecil sambil menutup mata terhadap kejahatan struktural.
Dengan memahami pemikiran Unger, kita tidak lagi terpaku pada pertanyaan “apakah hukum ditegakkan dengan benar?”, tetapi mulai bertanya “untuk siapa hukum ditegakkan? dan hukum macam apa yang sedang kita anut?”. Sebab yang kita butuhkan bukan sekadar rule of law, tetapi rule for liberation—aturan yang mengarah pada pembebasan, bukan penindasan.
Penutup: Imajinasi Hukum yang Membebaskan
Pemikiran Roberto Unger menegaskan bahwa hukum bisa dan harus menjadi bagian dari proyek pembebasan manusia. Namun untuk itu, kita harus membebaskan hukum dari mitos netralitasnya. Kita harus merebut hukum dari tangan elite dan menjadikannya milik rakyat. Hanya dengan begitu, hukum bisa hidup dan berpihak, bukan membeku dan menindas.
Sebagaimana Unger katakan, “Hukum adalah politik yang dibekukan. Tapi ia bisa dicairkan kembali oleh imajinasi yang radikal.” Maka mari kita panaskan imajinasi kita, bukan untuk sekadar meratapi ketidakadilan, tapi untuk merancang hukum baru yang benar-benar adil.
Luwuk 14 Juli 2025.
*Penulis adalah petani pisang
* @Aksara-Nusantara.Com