Home Hukum & HAMSaksi Hidup Bantah Fadli Zon: Pemerkosaan Mei 1998 Bukan Isu, Tapi Fakta Tragis

Saksi Hidup Bantah Fadli Zon: Pemerkosaan Mei 1998 Bukan Isu, Tapi Fakta Tragis

by admin
64 views

Jakarta – Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 sebagai “rumor” menuai respons keras dari saksi hidup dan tim investigasi. Dalam podcast Bocor Alus Politik, dua anggota kunci Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), Ita F. Nadia dan Sri Palupi, memaparkan kesaksian lapangan yang membantah klaim tersebut dan menegaskan bahwa kekerasan seksual saat itu merupakan tragedi nyata dan terstruktur.

Ita F. Nadia, mantan koordinator Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan (TRKP), mengisahkan bagaimana ia mendapati korban langsung usai kerusuhan pecah.

“13 Mei 1998, saya ditelepon bahwa ada pemerkosaan di Pluit. Kami turun ke lapangan dan menemukan empat perempuan yang tubuhnya penuh luka cakaran. Itu bukan rumor, itu kenyataan,” ujar Ita.

Ia menambahkan

, dirinya menangani sedikitnya 15 kasus kekerasan seksual, termasuk seorang anak perempuan berusia 11 tahun bernama Fransiska yang meninggal akibat luka parah setelah disiksa menggunakan botol.

Pengakuan Presiden, Intimidasi Aparat

Ita juga mengungkap pertemuannya dengan Presiden B.J. Habibie. Saat menerima laporan dari TRKP, Habibie menyatakan percaya atas kasus tersebut. “Beliau bilang: ‘Saya percaya karena keponakan saya, sahabatnya juga menjadi korban’,” kata Ita.

Namun, pengakuan itu dibarengi dengan tekanan. Usai pertemuan, Ita mengaku diinterogasi oleh Jenderal Wiranto dan dikonfrontasi langsung oleh penasihat militer presiden, Jenderal Sintong Pa

njaitan.

“Kamu bohong! Kamu menjelekkan nama bangsa!” bentak Wiranto, menurut penuturan Ita.

Kekerasan Sistematis dan Terarah

Sri Palupi, peneliti dari TGPF, menjelaskan bahwa pola kekerasan seksual pada kerusuhan 1998 tidak berdiri sendiri, melainkan terstruktur dan menyasar etnis tertentu.

“Pola kekerasannya sistematis, terarah, mayoritas korban perempuan Tionghoa. Ada pengkondisian, ada aktor lapangan—berambut cepak, berbadan tegap—yang memprovokasi warga sebelum kerusuhan,” jelasnya.

Salah satu data paling mengerikan datang dari seorang korban yang dibawa keluarganya ke Australia. Gadis itu membisu selama berbulan-bulan dan selalu menutupi wajah dengan sprei, hingga akhirnya berani berbicara melalui terapi khusus.

Teror Masih Berlanjut

Pernyataan Ita dan Palupi tak lepas dari risiko. Ita mengungkap bahwa setelah melayangkan kritik terbuka terhadap Fadli Zon, ia kembali mendapat teror.

“Jumat malam saya ditelepon, ‘Antek Cina kamu’. Terus berlanjut, ‘Suamimu tapol. Matikan orang PKI itu gampang, tidak ada yang bela’,” tuturnya.

Mereka menyebut bahwa narasi penyangkalan terhadap kekerasan 1998 merupakan bagian dari upaya sistematis untuk “mencuci sejarah” demi kepentingan politik kekuasaan saat ini.

“Menolak kebenaran berarti melukai korban dua kali. Bangsa ini tidak akan pernah dewasa kalau masa lalunya terus dihapus,” ujar Palupi.

Ita dan Palupi mendesak agar peristiwa Mei 1998 ditulis ulang berdasarkan fakta dan kesaksian korban, bukan oleh pihak-pihak yang terlibat atau berkepentingan.

“Sejarah yang benar hanya bisa ditulis oleh mereka yang berdiri di sisi korban, bukan pelaku,” tegas Ita.

Sumber : bocoralus tempo

Related Articles